BitungHukum dan Kriminal

6 Kasus Sulit Kejaksaan Tuntas dengan Cara Restoratif, Begini Caranya

MANADO.NEWS – Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, enam kasus perkara pidana kejaksaan penyelesaiannya pendekatan keadilan restoratif.

Keputusan ini diumumkan dalam ekspose virtual pada Senin 2 Juni 2025 dan menjadi langkah penting dalam menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan efektif.

Penyelesaian Kasus Penyerobotan Lahan di Bitung

Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah perkara penyerobotan lahan yang menjerat Simon Rarungkuan, tersangka dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Bitung.

Simon diduga melanggar Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena tetap menguasai rumah yang sudah ia jual kepada pihak lain.

Meski korban telah mengirimkan tiga somasi, tersangka tetap menempati rumah tersebut dengan alasan memiliki akses kunci karena tinggal berdampingan dengan properti yang bersangkutan.

Kepala Kejari Bitung, Dr. Yadyn, bersama timnya menginisiasi penyelesaian kasus perkara melalui keadilan restoratif.

Dalam proses tersebut, Simon mengakui kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf yang diterima baik oleh korban.

Setelah tercapai kesepakatan damai, Kejari Bitung mengajukan penghentian penuntutan ke Kejaksaan Tinggi  (Kejati Sulut) Sulut. Permohonan tersebut kemudian disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose daring.

Lima Kasus Lain Dapat Restoratif

Selain kasus Bitung, lima perkara lain juga disetujui penyelesaiannya dengan mekanisme keadilan restoratif, di antaranya:

  1. Kudrat Hamdani dari Kejari Morotai yang disangka melakukan penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP.

  2. Rezha Vilfort Rumagit dari Kejari Tomohon dengan dugaan penganiayaan sesuai Pasal 351 Ayat (1) KUHP.

  3. Nur Hadi dari Kejari Denpasar yang terjerat kasus pencurian menurut Pasal 362 KUHP.

  4. Chandra Hamenda dari Kejari Bitung terkait pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak.

  5. Nal Prison dari Kejari Sijunjung yang diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan Pasal 44 Ayat (4) UU No. 23 Tahun 2004.

BACA JUGA:  Natal dan Tahun Baru 2025, Polri Siapkan 2.794 Pos Pengamanan

Semua kasus tersebut diproses dengan prinsip memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, bukan hanya fokus pada hukuman.

SKP2 Harus Segera Diterbitkan

Prof. Asep Nana Mulyana menegaskan agar Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2) segera diterbitkan bagi perkara yang telah mencapai kesepakatan restoratif.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022.

Kebijakan tersebut menegaskan bahwa penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif bukan hanya opsi, tetapi bagian dari strategi penegakan hukum yang mengedepankan kepastian dan keadilan bagi semua pihak.

Keadilan Restoratif: Transformasi Sistem Hukum

Keadilan restoratif menjadi terobosan penting dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pendekatan ini menempatkan dialog dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban sebagai prioritas utama, dengan tujuan memulihkan kerugian dan memperbaiki hubungan sosial yang terganggu akibat tindak pidana.

Selain mempercepat proses penyelesaian perkara, metode ini juga mengurangi beban pengadilan dan menciptakan efek sosial positif dengan membangun pemahaman dan tanggung jawab.

Komitmen Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum Berkeadilan

Langkah Kejaksaan Agung ini sejalan dengan semangat reformasi hukum yang terus digalakkan pemerintah. Dengan memberikan ruang bagi penyelesaian restoratif, Kejaksaan membuktikan bahwa hukum tidak harus selalu represif dan formalistis.

“Keadilan restoratif bukan hanya soal menghukum, tetapi bagaimana kita memberi kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus memberikan rasa keadilan kepada korban,” ujar Prof. Asep dalam ekspose tersebut.

Harapan Kasus Restoratif Kejaksaan

Penerapan keadilan restoratif pada enam perkara ini diharapkan menjadi contoh bagi penyelesaian perkara pidana lain di Indonesia.

Dengan dukungan regulasi yang kuat dan pelaksanaan yang konsisten, pendekatan restoratif dapat memperkuat sistem peradilan pidana yang inklusif, adil, dan manusiawi. ***

BACA JUGA:  Prabowo Lindungi Jaksa! Perpres 66/2025 Jadi Tameng Hukum Baru
Back to top button