Korupsi Dana Desa Boltim Gunakan Nama Istri & Saudara
Gunakan Bumdes Sebagai Kedok

MANADO.NEWS – Dugaan korupsi dalam pengelolaan dana desa kembali mencuat. Kali ini, sorotan tertuju ke wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara.
Sejumlah informasi yang dihimpun dari masyarakat mengindikasikan adanya praktik korupsi sistematis oleh oknum kepala desa atau sangadi, sekretaris desa, bendahara, hingga pelibatan pihak keluarga sebagai rekanan proyek desa.
Informasi ini pun sudah sampai ke tangan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotamobagu dan tengah dalam tahap pengumpulan bahan serta keterangan untuk telaah lebih lanjut.
Modus Penyelewengan Dana Desa Mulai Terkuak
Sumber internal yang enggan disebutkan identitasnya kepada jurnalis menyampaikan, bahwa praktik manipulasi anggaran desa terjadi di sejumlah titik, melibatkan pejabat desa dalam skema yang terstruktur.
Mulai dari pengadaan proyek fisik, pembelian alat bantu desa, hingga pengelolaan dana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), semuanya diduga menjadi ajang untuk mengeruk keuntungan pribadi.
“Biasanya proyek desa, seperti pembangunan jalan lingkungan, pengadaan peralatan, atau bantuan usaha kecil, ditangani langsung oleh sangadi, sekdes, atau bendahara. Mereka pilih rekanan sendiri, lalu minta bagian dari nilai proyek,” ujar sumber tersebut.
Tak hanya itu, dalam beberapa kasus korupsi dana desa di Boltim, rekanan yang dipilih bukan pihak luar, melainkan kerabat dekat pejabat desa.
Istri, suami, atau saudara mereka kerap kali dipinjam namanya untuk menjadi pengelola proyek atau pemilik perusahaan pelaksana, guna menghindari kecurigaan publik.
Pengadaan Fiktif dan Dana BUMDes yang Tak Sampai ke Masyarakat
Laporan yang masuk ke kejaksaan mengungkap pula bahwa dana BUMDes menjadi salah satu sasaran empuk dalam skema korupsi ini.
Alih-alih digunakan untuk membiayai program ekonomi produktif bagi masyarakat, dana tersebut justru banyak yang tidak diketahui kejelasan pemanfaatannya.
“Sebagian besar program BUMDes hanya formalitas. Ada pencairan dana, tapi kegiatan di lapangan tidak ada. Kalau pun ada, hasilnya tidak terlihat jelas,” tutur warga lain yang juga memilih untuk tidak dipublikasikan identitasnya.
BUMDes sejatinya menjadi salah satu tumpuan pemerintah desa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, dalam praktiknya di Boltim, banyak dana yang diduga menguap tanpa laporan pertanggungjawaban yang transparan.
Kejari Kotamobagu Akan Tindaklanjuti
Menanggapi laporan yang mulai ramai dibicarakan masyarakat, pihak Kejari Kotamobagu menyatakan akan melakukan proses telaah secara cermat.
Kepala Kejari Kotamobagu, Elwin Agustian Khahar, melalui Kepala Seksi Intelijen, Charles Rotinsulu, menyampaikan bahwa laporan masyarakat menjadi prioritas awal dalam mendeteksi potensi tindak pidana korupsi.
“Kami akan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan terlebih dahulu. Informasi yang masuk akan kami telaah secara administratif dan yuridis sebelum naik ke proses penyelidikan,” ujar Charles saat diwawancara.
Ia menambahkan bahwa Kejaksaan akan menindak setiap temuan yang memiliki bukti kuat dan memenuhi unsur pidana. Semua proses akan dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pandang bulu.
Anggaran Tahun 2024 dan Triwulan 1 Tahun 2025 Disorot
Fokus utama dari laporan ini adalah pada penggunaan anggaran tahun 2024 hingga triwulan pertama tahun 2025.
Pada periode tersebut, sejumlah desa di Boltim mendapat kucuran dana desa yang cukup besar, sebagaimana diatur oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Namun, alih-alih digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, dana tersebut justru disinyalir menjadi bancakan sejumlah oknum aparat desa.
Tidak adanya transparansi dalam proses lelang dan minimnya pengawasan dari pemerintah daerah turut memperparah situasi.
Mekanisme Pengadaan Diduga Disalahgunakan
Dalam dokumen laporan masyarakat yang diterima Manado News, disebutkan bahwa sejumlah proyek fisik dan bantuan langsung masyarakat di beberapa desa tidak melalui mekanisme pengadaan yang sah. Banyak proyek yang dikerjakan oleh perusahaan tanpa proses lelang terbuka.
Modus korupsi dana desa di Boltim ini beragam. Ada yang menggunakan perusahaan fiktif, ada pula yang memakai nama anggota keluarga sebagai pemilik perusahaan, padahal pelaksanaannya tetap dikendalikan oleh oknum pejabat desa.
“Kalau dilihat dari luar, seperti sah-sah saja. Tapi kalau diperiksa lebih dalam, semua terhubung—baik sangadi, sekretaris desa, hingga bendahara. Semuanya punya andil, bahkan saling melindungi,” tutur warga yang mengaku pernah mencoba mengkritik praktik tersebut, namun mendapat tekanan.
Minim Pengawasan, Potensi Korupsi Membesar
Lemahnya pengawasan dari instansi di atasnya menjadi celah besar bagi terjadinya korupsi dana desa. Dalam banyak kasus, laporan pertanggungjawaban disusun sedemikian rupa agar terlihat sah di atas kertas, sementara fakta di lapangan berbeda jauh.
“Selama laporan administrasinya lengkap, hampir tidak ada yang mencurigai. Padahal warga tahu persis kegiatan itu tidak pernah ada,” ujar tokoh masyarakat di salah satu desa di Boltim.
Praktik semacam ini, jika tidak segera ditindak, dikhawatirkan akan menjadi budaya baru yang membahayakan integritas tata kelola pemerintahan di tingkat desa.
Transparansi Digital dan Partisipasi Warga
Sejumlah pengamat tata kelola keuangan desa menilai bahwa pengawasan berbasis digital perlu segera diterapkan.
Pemerintah daerah bisa mengembangkan sistem pelaporan online yang memungkinkan masyarakat mengakses langsung informasi keuangan desa secara real-time.
Dengan sistem ini, seluruh proses pengadaan, pelaksanaan proyek, hingga laporan penggunaan dana bisa dipantau oleh warga dan lembaga pengawas secara terbuka.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kapasitas warga dalam memahami hak dan peran mereka dalam mengawasi keuangan desa. Pendidikan antikorupsi di tingkat lokal, pelibatan tokoh masyarakat, serta media lokal juga dinilai sebagai elemen penting.
Desakan Audit Menyeluruh Makin Menguat
Seiring mencuatnya kasus korupsi dana desa di Boltim ini, sejumlah aktivis dan organisasi masyarakat sipil mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap dana desa.
Mereka menilai bahwa kasus ini bisa jadi hanyalah puncak dari gunung es praktik korupsi yang lebih luas.
“Kalau memang ingin bersih-bersih, jangan setengah hati. Audit seluruh desa, buka datanya ke publik, biar masyarakat juga tahu siapa yang bermain,” ujar Robinson Manery dari pegiat anti rasuah GMPK Sulut.